Dalam tradisi Gereja Katolik bulan November disebut sebagai bulan arwah karena pada tanggal 2 November Gereja mengajak kita untuk berdoa bagi arwah semua orang beriman yakni para leluhur, saudara, sahabat dan kenalan kita yang telah dipanggil menghadap Tuhan. Dalam syahadat para rasul, kita mengungkapkan iman, “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang Kudus, Persekutuan Para Kudus, Pengampunan dosa, Kebangkitan Badan dan Kehidupan Kekal”. Berkat pembabtisan kita menjadi anggota Gereja, dan dengan demikian menjadi bagian dari Persekutuan Para Kudus. Anggota Gereja terdiri dari 3 kelompok (lih. LG 49): Gereja yang mulia (umat beriman yang telah mulia bersama Tuhan, yakni para kudus), Gereja yang berziarah (umat beriman yang masih hidup dan berjuang di dunia ini) dan Gereja yang menderita (umat beriman yang masih harus menjalani proses pemurnian di api penyucian). Tiga keadaan anggota Umat Allah itu (mengembara, dimurnikan, dimuliakan) diikat oleh kasih Kristus. Konstitusi Dogmatik LUMEN GENTIUM menyatakan, “Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh Roh-Nya, berpadu menjadi satu Gereja dan saling erat berhubungan dalam Dia” (LG 49). Karena itu, masing-masing status anggota Gereja mesti saling mendukung, saling membantu, saling bekerja sama dalam kasih untuk bersama-sama menuju kesatuan abadi di Sorga, dan menjadi persembahan yang murni dan tak bercela. (lih. Ef 5:27). Gereja yang telah dimuliakan yakni para kudus membantu kita yang masih berziarah di dunia ini dan jiwa-jiwa di api penyucian dengan doa-doa mereka dan Gereja yang sedang mengembara di dunia dapat membantu sesama yang masih mengembara di dunia ini dan mereka yang sedang dimurnikan di Api Penyucian dengan pelbagai cara.
Dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan mengenai ajaran resmi Gereja tentang api penyucian supaya kita mempunyai pemahaman yang utuh. Dalam tradisi istilah yang dipergunakan untuk api penyucian adalah purgatorium. Pada umumnya para teolog menjelaskan api penyucian bukan sebagai tempat tetapi sebuah proses pemurnian. Proses pemurnian atau penyucian ini lebih sebagai proses pematangan dan penyempurnaan rohani daripada sebagai proses silih atas kesalahan yuridis atau hukuman atas dosa-dosa. Karl Rahner, misalnya, menjelaskan api penyucian sebagai “suatu proses pribadi yang memurnikan dan menyempurnakan. Melalui proses ini, setapak demi setapak, semua daya kuasa pribadi manusia perlahan-lahan terintegrasi ke dalam keputusan pribadi yang bebas” (“Remarks on the Theology of Indulgences”, dalam Theological Investigations, Baltimore, Helicon, Volume 2 hal. 197).
Manusia adalah realitas yang kompleks dan penuh misteri. Karena jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi pribadi yang terpecah-pecah, lemah, mudah kacau dan galau, mudah goncang, diombang-ambingkan antara kebaikan dan kejahatan. Di satu pihak ada dorongan untuk mengarahkan hidup menuju kepada kebaikan, kesucian dan kesempurnaan, namun di lain pihak mempunyai kecenderungan kuat juga untuk mencari kenikmatan egois yang mengarah kepada dosa. Pada saat manusia kembali kepada Allah, pusat kepribadiannya yang paling dalam menjadi utuh dan menyatu karena rahmat Allah, tetapi proses penyembuhan akibat dosa yang telah dilakukan pada level jasmani, psikologis, dan rohani membutuhkan transformasi yang bertahap dan menimbulkan kepedihan. Proses pengintegrasian inilah yang disebut api penyucian.
Pengalaman kematian membawa kita meninggalkan kefanaan dunia menuju keabadian. Sedangkan sebuah proses tentu saja mengandaikan adanya ruang dan waktu, padahal “ruang” dan “waktu” adalah kategori-kategori atau istilah yang mengacu pada realitas keterbatasan. Karena itu teologi modern tidak lagi memahami api penyucian sebagai proses pemurnian “sesudah” kematian, melainkan proses yang terjadi “pada saat” kematian, proses seseorang berjumpa dengan Allah dengan cara yang paling mendalam dan menentukan. Perjumpaan inilah yang disebut sebagai “api penyucian”, saat kita dibersihkan atau dimurnikan dan diintegrasikan. Proses ini menimbulkan penderitaan, sakit dan kepedihan (lih. misalnya, Ladislaus Boros, The Mystery of Death, New York: Herder and Herder, 1965, hal. 135). Joseph Ratzinger (Paus Benedictus XVI) juga menolak gagasan kuantifikasi (panjang atau pendeknya waktu) dalam api penyucian. Beliau menjelaskan api penyucian sebagai “proses transformasi batiniah yang menjadikan seseorang mampu menyambut Kristus, mampu menyambut Allah, dan dengan demikian mampu menyambut kesatuan dengan seluruh persekutuan para kudus” (Eschatology: Death and Eternal Life, New York. Pueblo Publishing Co. 1988, hal. 230).
Tentang api penyucian, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan, “Semua orang yang meninggal dunia dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, tetapi masih belum dimurnikan secara sempurna, pasti memperoleh keselamatan kekal; akan tetapi, sesudah kematian mereka menjalani penyucian supaya mencapai kekudusan yang diperlukan untuk masuk ke dalam sukacita surgawi. Gereja menyebut penyucian terakhir orang-orang terpilih ini Api Penyucian, yang sama sekali berbeda dengan hukuman orang-orang terkutuk” (lih. no. 1030-1031).
Pendek kata, api penyucian, adalah “suatu perjumpaan dengan Kristus yang bersifat menentukan” atau “penderitaan yang terjadi karena cinta untuk menyatu dengan Allah Sang Mahacinta”. Cinta selalu mendorong kita untuk bertemu dan menyatu. Apabila penyatuan itu belum bisa terjadi karena suatu hal maka muncullah kerinduan. Kerinduan yang sangat mencekam itu menimbulkan penderitaan. (Bdk. Kelly, Tony, Touching on the Infinite: Explorations in Christian Hope, Victoria, Coplloin Dove, 1991, hal. 168-172).
Dengan demikian kata “api” harus dilihat sebagai gambaran atau metafora untuk kemuliaan Allah. Di hadapan kemuliaanNya itu tersingkaplah siapa sebenarnya manusia itu dengan seluruh kerapuhan, kegagalan, dosa dan kehinaannya.
Dasar Kitab Suci yang sering dirujuk dalam refleksi tentang api penyucian adalah 2 Makabe 12:38-46 dan 1 Korintus 3:11-15. Dalam Kitab 2 Makabe, dikisahkan tentang Yudas Makabe yang mengumpulkan derma dan kemudian mengirimkannya ke Yerusalem sebagai kurban silih bagi beberapa prajuritnya yang gugur namun ternyata mengenakan jimat-jimat pelindung yang terlarang. Derma itu dimaksudkan sebagai korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka (2 Mak 12:45). Dalam surat kepada umat Korintus yang pertama (1 Kor 3:11-15) St. Paulus menyatakan bahwa “pekerjaan masing-masing orang akan tampak … akan tampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, la akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api”. Di samping itu Mat 5:26 dan 12:32 juga sering dikutip untuk mendukung ajaran tentang api penyucian.
Ajaran lengkap tentang api penyucian dirumuskan oleh Konsili Trente pada tahun 1563. Konsili menyatakan, “Gereja Katolik oleh ajaran Roh Kudus dan sesuai dengan Kitab Suci serta Tradisi kuno para Bapa Gereja telah mengajarkan dalam konsili-konsili suci dan baru-baru ini dalam konsili ekumenis ini bahwa ada api penyucian dan bahwa jiwa-jiwa yang ada di sana dibantu oleh tindak-tindak perantaraan (suffragia) orang-orang beriman, dan terutama oleh kurban altar yang layak. Maka dari itu, konsili suci ini memerintahkan agar uskup berusaha dengan rajin supaya ajaran sehat tentang api penyucian, yang telah diturunkan oleh Bapa Bapa Gereja yang kudus dan konsili-konsili yang suci, dipercayai oleh umat beriman dan supaya ajaran itu dipegang teguh, diajarkan, dan diwartakan di mana-mana. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit dan pelik yang tidak membangun hidup umat beriman dan yang pada umumnya tidak membuat umat beriman semakin saleh hidupnya hendaknya tidak dimasukkan dalam khotbah-khotbah umum kepada umat beriman yang sederhana. Demikian juga hendaknya mereka menjaga agar pendapat-pendapat yang meragukan dan sesat tidak tersebar dan dikenal. Adapun hal-hal yang termasuk dalam ranah keingintahuan atau takhayul, atau yang berbau keuntungan yang tak terhormat, harus mereka larang sebagai hal-hal yang menjadi batu sandungan dan membahayakan bagi umat beriman” (The Christian Faith no. 687).
Indulgensi
Dalam Kalender Liturgi 2025 ada catatan sebagai berikut: “Dalam rangka “PERINGATAN MULIA ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN” (2 November) setiap orang kristiani dapat memperoleh indulgensi penuh bagi semua yang sudah meninggal. Caranya: mengunjungi makam dan/atau mendoakan arwah orang yang meninggal. Yang menjalankan setiap hari dari tanggal 1 s/d 8 November memperoleh indulgensi penuh; yang menjalankan pada hari-hari lain memperoleh indulgensi sebagian”. Apa yang dimaksud dengan indulgensi?
Kristus memberikan kuasa mengampuni dosa kepada Gereja dengan mengatakan, “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.“(Mt 16:19; Yoh 20:22-23). Dengan kuasa itu Gereja bertugas untuk mengantar seluruh anggotanya kepada persatuan abadi dengan Kristus. Kesatuan itu menurut St. Paulus diwujudkan dengan kesediaan untuk turut berpartisipasi dalam sengsara Kristus, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24). Salah satu pelaksanaan kuasa mengampuni itu adalah indulgensi. Dengan indulgensi, Gereja memohon kepada Tuhan agar menghapuskan siksa dosa sementara (seluruhnya atau sebagian) bagi orang-orang yang berada di dunia ini maupun yang berada di Api Penyucian.
Dalam Katekismus Gereja Katolik, Indulgensi dirumuskan sebagai “penghapusan siksa-siksa temporal di depan Allah untuk dosa-dosa yang sudah diampuni. Warga beriman Kristen yang benar-benar siap menerimanya, di bawah persyaratan yang ditetapkan dengan jelas, memperolehnya dengan bantuan Gereja, yang sebagai pelayan penebusan membagi-bagikan dan memperuntukkan kekayaan pemulihan Kristus dan para kudus secara otoritatif”. “Ada indulgensi sebagian atau seluruhnya, bergantung dari apakah ia membebaskan dari siksa dosa temporal itu untuk sebagian atau seluruhnya.” Indulgensi dapat diperuntukkan bagi orang hidup dan orang mati (KGK 1471, bdk. Paulus VI, Konst. Ap. “Indulgentiarum doctrina” normae 1-3). Sedang dalam Kitab Hukum Kanonik dirumuskan, “Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus.” (KHK 992)
Dari kedua definisi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa indulgensi hanya dapat diterapkan bagi dosa-dosa yang membuahkan hukuman sementara atau temporal bukan hukuman kekal. Dapat dimohon untuk orang-orang yang masih hidup di dunia ini dan juga untuk jiwa-jiwa di Api penyucian. Indulgensi mensyaratkan dosa-dosa itu sudah diampuni dalam sakramen pengampunan dosa. Gereja tidak mengharuskan setiap orang beriman menerima indulgensi, namun menganjurkan agar umat beriman sedapat mungkin memanfaatkan anugerah ini.
Karena indulgensi adalah pengampunan yang diberikan Kristus melalui Gereja-Nya, maka orang yang menerimanya harus berada di dalam kesatuan dengan Gereja-Nya. Dan sama seperti orang yang ingin mendapatkan pengampunan harus menyatakan niatnya itu di hadapan Tuhan, maka orang yang ingin mendapatkan indulgensi harus mempunyai intensi untuk mendapatkannya dan melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang digariskan di dalam indulgensi.
Indulgensi dapat diperoleh penuh atau sebagian. Untuk mendapatkan indulgensi penuh, kita harus 1) menerima Sakramen Pengampunan dosa, 2) merayakan Ekaristi Kudus, 3) berdoa untuk intensi Sri Paus, 4) melakukan apa yang ditentukan dalam ketentuan indulgensi dan melakukannya dengan hati yang menyesal, 5) bebas dari keterikatan akan dosa – bukan hanya dosa berat, namun juga dosa ringan.
Sedang indulgensi sebagian diperoleh dengan 1) Berdoa secara khidmat dan bersungguh-sungguh. 2) Bermeditasi secara teratur dan sungguh-sungguh. 3) berdoa rosario entah secara pribadi atau pun dalam keluarga atau lingkungan. 4) Membaca Alkitab dengan penuh hormat karena Alkitab adalah Sabda Tuhan. Berkah Dalem.